Pasal 112 ayat (1):
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.
Pasal 127 ayat (1) huruf a:
“Setiap Penyalah Guna: Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.
Ketentuan
Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika yang seharusnya secara limitatif
ditujukan kepada pengedar narkotika, namun dalam prakteknya dapat
diterapkan kepada siapa saja yang bukan pengedar seperti penyalah guna
narkotika yang digunakan untuk diri sendiri dan seseorang yang tidak
bersalah yang menjadi korban rekayasa kepemilikan narkotika, karena
unsur-unsur pasal tersebut terlampau umum dan tidak spesifik ditujukan
kepada pengedar narkotika. Akibatnya beberapa oknum polisi dengan
menggunakan dasar Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika, melakukan upaya
penjebakan dan rekayasa, dengan maksud untuk mengarahkan orang/individu
dalam posisi tertangkap tangan bersama dengan bukti barang
terlarang/narkotika. Modusnya, narkotika dimasukkan ke dalam mobil, tas
atau jaket seseorang, lalu dituduh sebagai pemilik dan pemakai narkotika
tersebut. Korban akan diminta sejumlah uang dengan alasan agar
kasusnya tidak diproses secara hukum. Jika tidak diberikan sejumlah
uang, maka kasus tetap diproses karena seperti diketahui bahwa dalam
institusi kepolisian terdapat aturan target minimal kepada setiap
anggota polisi untuk dapat menangkap pelaku yang diduga memiliki
narkotika. Dengan modus rekayasa kepemilikan narkotika, maka korban
rekayasa tidak lagi memiliki hak konstitusional atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Korban rekayasa tersebut
mengalami situasi dilematis “maju kena mundur kena”, jika tidak
diberikan uang maka ia akan diproses hukum, sedangkan jika memberikan
uang maka ia mengalami kerugian materiil.
UU Narkotika
menimbulkan ketidakpastian hukum, di satu sisi menjamin rehabilitasi,
tetapi di sisi lain memidana penyalah guna dan pecandu narkotika.
Ketentuan rehabilitasi terhadap penyalah guna dan pecandu narkotika
secara tegas diatur dalam Pasa 4 huruf d, Pasal 54 sampai dengan Pasal
59 dan Pasal 103 UU Narkotika. Selama ini Mahkamah Agung juga telah
membuat Surat Edaran Mahkamah Agung mulai dari SEMA No. 7 Tahun 2009,
SEMA No. 4 Tahun 2010, dan SEMA No. 3 Tahun 2011 yang memberikan panduan
kepada Hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi bagi Pecandu ketika
membawa narkotika dalam berat tertentu. Namun dengan adanya ketentuan
Pasal Pasal 112 ayat (1), Pasal 127 ayat (1) huruf a, maka hukuman
rehabilitasi sebagaimana yang didengung-dengungkan dalam SEMA tersebut
menjadi hilang dan diganti hukuman pidana tergantung dari penegak hukum.
Selama ini, hukuman rehabilitasi hanya diterapkan kepada artis atau
kalangan berduit. Sedangkan kalangan tidak mampu, apalagi tidak
didampingi Penasihat Hukum dan jauh dari pengawasan publik, maka dapat
dipastikan Penegak Hukum akan seenaknya memberikan hukuman pidana
penjara 4 sampai 12 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar